Friday, August 4, 2017

Cerpen Cinta MASIH TANDA TANYA

Assalamu'alaikum

RAJEB GROUPS - Di kesempatan kali ini kami akan membagikan Cerpen Cinta dengan judul MASIH TANDA TANYA. Cerpen atau cerita pendek atau juga cerita cinta. 
Cerpen di bawah ini adalah karya temanku waktu SMA. dia sering banget buat cerpen dan nanti dalam waktu dekat kami akan membagikannya. Tungguin aja.

Jangan Lupa Share Ya

cerpen-cinta-masih-tanda-tanya-rajebgroups

Masih Tanda Tanya

Karya : Darma Okta Filujeng

Kereta api melakukan GLBB diperlambat tepat pukul 06.20 WIB. Dengan balutan jilbab warna pastel dipadu jaket peach dan bawahan pensil blue night, aku berlari kecil mencari gerbong nomor dua. Berjubel-jubel orang berebut masuk pintu, alhamdulillah kerena aku dapat leluasa merasakan sapuan AC Dhoho Train. Terasa menyejuk rohani dan jasmani, aku mencocokkan nomor yang tertera pada karcisku dengan nomor urut bangku kereta.

Tepat sekali tak kurang dari dua puluh detik. Aku telah menemukan angka 7E pada sisi kiri gerbong itu, lalu kuletakkan barang bawaanku ke atas bagasi. Kulepaskan sarungtangan bersama kepenatan yang telah kupikul sajak dua jam menunggu, terasa lebih enteng dan rileks. Jemariku pun merasakan rengkuhan bangku merah, dibalik jendela begitu jelas lampu-lampu berlarian lalu tertinggal kereta. Gemerlap malam berkuasa, sehingga rembulan masih bertengger dibalik rumah susun penduduk Wonokromo.

Sementara itu di samping kananku, beberapa orang masih bingung dengan nomor bangkunya. Akan tatapi aku bersyukur, karena hanya aku yang menikmati bangkuku dan bangku depanku. Aku menoleh ke kiri lagi, dibalik buramnya kaca riben kereta berselimut kabut malam perlahan gemerlap lampu menghilang. Malam telah merenggut klorofil sang daun, menyulapnya menjadi warna hitam. Sihir malam pun memaksa stroma daun untuk melakukan Siklus Calvin. Kubuka ponselku, untuk mengirimkan pesan kepada ibu dan saudaraku bahwa aku sudah naik kereta.

“Permisi”. Dengan cepat aku menjawab “Ya mas, silahkan”. Pemuda itu meletakkan barang bawaannya keatas bagasi, kemudian ia meletakkan tas ransel di sampingnya. Sehingga posisi kami saling berhadapan dengan tas ransel, begitulah detailnya. Aku tak berani menatap wajahnya hanya dapat memendang sebatas bahunya saja. Layaknya anak muda jaman sekarang, aku mencoba tak mnghiraukan pemuda itu. Padahal sebenarnya, aku penasaran siapa dia agaknya suaranya tak asing bagiku.


“Pulang kuliah Mbak, kuliah dimana?” ia memecah kebisuan kami.

“Belum kuliah kok Mas.” belum apa-apa sudah dibombardir dengan pertanyaan.

“Ooh, anda dari mana?” ia mencoba akrab, dengan santai aku menjawabnya.

“Menghadiri acara wisudahan.” singkat aku tahu bahwa dia tipikal orang kepo.

“Universitas apa?” Sudah kuduga gumamku dalam hati, benar kan muncul sifat aslinya.

“UNESA jurusan PGSD”aku menjawab lengkap agar ia tak tanya lagi.

“Ooh, hebat itu. Mbak berhenti di stasiun mana?”

Pandanganku masih pada ponselku, aku mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa kesalku. Kemudian kumenjawabnya dengan tenang juga anggun,

“Semut, anda?” aku berbalik bertanya agar aku terlihat srawung (bersosialisasi) dengan orang lain.

“Wah kebetulan sama.” nadanya begitu sumringah.

“Kalau saya dari desa Kadilangu, kalau sekolah kamu dimana dan kelas berapa?” ia mencoba akrab karena satu kecamatan denganku.

“SMAN Kadilangu kelas XI- IPA 1.” jawabku singkat.

”Waw, mantan adik kelasku ternyata” nadanya dengan shock.

Aku segera menimpali “Ya, aku tadi sempat kaget sewaktu melihat Mas. ”

“Oo jadi aku juga familiar ya! Boleh tahu kamu kenal aku?”

“Tidak juga, tapi sempat lihat waktu lomba melukis kita kan pernah bersebelahan.” Jelasku vertikal dan horizon sehingga menimbulkan vektor yang sangat rumit karena harus diakar dan dikuadratkan, apalagi angkanya pecahan sangat tidak efisien untuk ditintakan dalam buku fisika.

Ladang jagung meliuk-liuk diterpa angin, dibalik kaca riben kereta yang buram. Pointilis alam tercipta diantara laju gerbong Dhoho Train yang menuju stasiun. Keadantahan ini berbeda 180 derajat ketika aku berada ditempat pertama tadi. Entah kenapa diantara rayapan malam, alam seolah bersedih pasi. Mengingatkan pada purnawiata bulan lalu, aku meneteskan kepahitan karena ditinggal lelaki yang kuidolakan sehingga tak sekalipun kubayangkan dapat bertemu lagi dengan dirinya. Mamang waktu sering tak sejalan dengan rencana, akan tetapi nyatanya dihadapanku Mas Adi sedang bernostalgia ke masa SMA. Aku hanya bisa tersnyum mengiyakannya.

Tanpa ia sadari aku turut terlarut dalam euforia kengan lalu. Dulu aku sering menunggu kedatangannya dan kepulangannya di taman depan sekolah, dan berharap ia melirikku walau sekali. Pernah suatu waktu ia melihatku aku lupa harinya yang jelas aku memakai pramuka, rasanya melayang sampai ke surga. Namanya juga orang lagi kasmaran, walaupun melakukan hal-hal yang
menurut orang waras tidak perlu dilakukan atau bisa dibilang alay tatap saja percaya diri. 

*******

Cahaya kuning menyambut kedatangan kereta yang kami tumpangi, kita berdua mengantre untuk turun dari kereta. Malam pun menangis, semua orang yang turun berteduh di stasiun. Ada juga yang langsung tawar menawar dengan tukang becak, ada yang ke kedai untuk sekedar minum teh, ada yang menunggu jemputan seperti kami.Aku rapatkan jaketku sambil menyeruput Good Time Capucino bersama dengan Mas Adi rasanya bahagia tak terperi, hujan mekin deras mungkin mengguyur sampai satu kecamatan.

Kami diam terperangai dalam sepi, lalu terpecah menjadi butiran mutiara yang jatuh bersama hujan. “Aku boleh minta nomor Hp kamu, barang kali aku mau tanya di sekolah....se....an ....ku.....eeng......” kataya terlalu berbelit–belit shingga tak kuhiraukan tapi intinya dia ingin meminta nomor ponselku untuk menanyakan siapa saja yang ke sekolah untuk cap tiga jari. Cerdas tapi caranya terlau cepat juga norak, dan aku tahu kalau dia juga modus. Sehinga aku beralibi “Aku tak bawa ponsel ke sekolah Mas” dia menjawab “Kan pulangnya bisa SMS Dik” aku tak dapat mengelak lagi terpaksa kuberikan nomor ponselku. 

*******

Di kampung seberang jauh terpisah oleh dimensi jarak, arah itu selalu memanggil angin selatan untuk berhembus menebarkan kehangatan di seluruh wilayahnya. Kampung itu terletak di pusat kecamatan sebelah, di pertigaan jalan awal menuju kampung itu berdirilah masjid. Mesjid yang berkubah hijau
berpiringan emas, bertuliskan gelombang huruf hijaiyah penuh dengan makna. Berarsitektur lokal tapi kualitas Serambi Mekah dengan empat menara di setiap sudutnya, kubistis macam dadu di bangunan induknya. Asri dan simpel tapi elegan.

Malam 1 Suro bagi para petuah kampung atau pemilik ilmu lintrik yang melekan (tidak tidur semalaman) bersama untuk pelbagai tujuan mistik. Anehnya malam ini menjadi misteri bagi seorang sisiwi SMA itu. Dia bukan petuah kampung apalagi dukun tapi ia turut melekan sendian di kamarnya. Ternyata penyakit insomnianya yang sering kambuh itulah penyebabnya, penyakit yang selalu menghampiri dikala malam tanpa salam ataupun permisi, tanpa pamit jika kembali.

Hal ini yang membuatnya jengkel, sesak di hatinya mencokolkan berbagai tanda tanya lenkap dengan jawabanya “Akankah aku ini galau merana ?” “Bagainana bisa galau pacar saja aku tak punya” “Akankah aku gila depresi, tegangan, regangan atau yang lainnya ?” “Mungkin saja” “Apa penyebabnya?” “Hanya dirimu yang dapat menjawabnya”.

Ia memejamkan mata, lalu terperanjat seolah melihat tatapan gadis berkerudung cuklat kurma dngan kalung merah putih di lehernya pada waktu UTS lalu. Ia mengenakan ransel Alto hijau sedikit kombinasi warna grey dan yah sepatu sport hitam denan sol hijau ukuran mungil tampak serasi. Ia masih ingat pantulan putih abu-abu yang ia kenakan di kornea bening milik gadis itu. Bagi Lyan mata gadis itu seindah rembulan di masa 15, ya 15 sama seperti umurnya sekarang.

Tapi yang disayangkan dalam hati Lyan dan sekaligus menjadi tema demonstrasi kepada takdir “Mengapa ia jadi kakak kelasku” ungkap Lyan. Protes yang dilakukannya untuk memperjuangkan haknya dimata takdir, mulai pudar karena ia teringat saat gadis itu diejek oleh teman-temannya karena gadis itu tersandung dan salah tingkah saat melihatnya. Bibir yang anggun dengan pipi bagai sautas bianglala di langit senja, pandangnya merunduk dengan khusuk karena malu. Lyan begitu terkesima ”Aduh aloknya” hatinya selalu mengucapkan itu meski mulut Lyan tak pernah mengakui kalau ia jatuh cinta.

*******

Semburan jingga sang surya menelisik daun cemara,butiran embun meluncur dari mahkota tulip yang semi di bulan Oktober.kehidupan memekar seiring sinar dewa di ufuk timur. Dewa surya mulai meninggi menyundul kegelapan, mulai mengawasi kedelapan mata angin di atas singgasananya. Benang-benang janur kuning telah tergerai di beranda rumah nenek. Bibiku akan melangsungkan ijab qobul tuk memenuhi sunnah Rosul saw. Keluarga besar, kerabat dekat dan kerabat jauh berkumpul, untuk meremajakan tali silattuhrrrahmi yang sempat kendor.

Barjajar meja kursi bergaun indah nan permai barjajar rapi, lengkap dengan singgasana raja dan ratu yang megah dengan jubah kasih sayang. Semua itu milik sepasang insan yang menyambut lembaran baru nan mewangi dan siap tergores oleh tinta emas suka duka kehidupan. Berlapis tabir seolah
menudungi desa kami tak ada tanda gigi taring badai. Sekelebat bayang-bayang warna mocca dibalik kuning gading yang mendominasi. “Mas Adi itukah kau? Ah tak mungkin itu hanya ilusiku.” Hatiku meyakinkan.

“Miftaaa tolong belikan tiga dus Aqua untuk mengisi kotak penganan walimatul ursyi !” panggil Budhe Indah. “Ya budhe, tapi aku tidak bisa membawa tiga kardus sekaligus kalau sendirian” budhe menimpali “Tenang, Mas Iqbal akan mengantarmu! Budhe tidak akan membiarkan keponakan kesayangan budhe kerepotan” “Budhe bisa aja” “Ini uangnya jangan sampai hilang” ”Okay budhe”. Dalam hati aku bertanya “Bagaimana ya sekarang Mas Iqbal masihkah ia usil seperti dulu dan apakah ia masih suka memanggilku dengan sebutan Sincan Mi (Si Cantik Mifta)” ih geli rasanya kalau ingat enigma itu.

Enigmaku menjadi dejaveu ketika kudengar “Dik ayo!”lalu suara panggilan itu“Sincan Mi ayo naik!”. Aku masih belum membalikkan badanku padahal nostalgiaku sudah berakhir, pikirku mulai berkcaamuk bagai pertempuran arek-arek Suroboyo dengan tentara kompeni. Bermilyar kata maaf ingin kuucap pada Mas Iqbal, karena telah lama tidak pernah berkunjung ke rumahnya semenjak polemik diriku dengan monyet tetangganya itu. Aku sempat pobia stadium empat karena kakiku tercengkram sampai-sampai lima orang tak mampu untuk memisahkan cengkraman anak monyet itu dari kakiku. Yang jelas aku menangis sampai mengaburkan orang sekampung, mungkin saat itu usiaku lima tahun.

Kubalikkan badanku, pada detik itulah aku tersayat sembilu tanda tanya besar. Aku terperanga “Mas Adi” tanpa kuminta menjawab ia berkata ”Iya Dik, ternyata kita sepupu. Makanya tempo hari kau meminta nomor Hp kamu karena ibuku tidak punya nomor Hp Bulek.”. Aku masih tak percaya, jadi selama ini dia tahu kalu cinta ini terlarang. Bombardir pertanyaan menyerbuku, “Apakah ia baru tahu kalau aku sepupunya pada bulan ini?”, “Tapi mengapa ia tidak pernah menyapaku saat di sekolah dulu? ”, “Mengapa? Bagaimana? Kapan? Dimana?”. Aku telah kalah oleh peluru pertanyaan dalam benakku, tiba-tiba gigi badai menampakkan peringissannya. Langit gelap guntur merajalela tak ada setitik pelita untukku, aku terjerembab dalam alamku.

 *******

Hari sabtu adalah hari bahagia bagi orang lain, kecuali aku hari ini hari paling membosankan. Aku pulang sekolah langsung menuju parkiran, tak seperti biasa menunggu teman-teman atau sekedar ngegosip anak pacaran. Langkahku gontai menuju jajaran motor yang simpang siur kurang rapi, alangkah apesnya diriku mengambil sepeda saja keliru dengan sepeda temanku yang kebetulan modelnya sama.Mataku lebam akibat kurang tidur, hidungku merah akibat menangis semalaman.

Kunyalakan motor maticku dengan menajap gas yang terlalu tinggi sma seperti hatikuyang terkena tegangan terlalu tinggi. Kemudian Bruak......kuterjang tiang parkiran dan sedikit menjumping bersama motorku. Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, tapi kuharus menahan sepedaku agar tidak lecet. Pandanganku kosong dengan setengar sadar akibat shock, lalu Mas Iqbal datang menegakkan sepedaku, tapi mengapa ia memakai baju batik kelas sepuluh? Lambat syarafku membawa pesan bahwa anak leleki itu adalah adik kelasku. Tangannya meraihku sehingga aku dapat berdiri tegap, lalu kuperiksa motorku dan Alhandulilllah tak ada yang lecet.

Kuucapkan “Makasih ya.... Berlyaan Puutra Fassssesa” kueja deretan alphabet di nama identitasnya dengan uraian senyum, meski hatiku telah menguap bersama carbon dioksida. Kemudian ia juga mejawab “Sama-sama” dari matanya kutemukan puisi

Dendritku seolah menerjemahkan cintamu yang tersandi

Ke tubuh sel ini mulai mengartikan

Sehingga syaraf kalbu ini mengerti

Tapi masih timbul tanda tanya

Di dalam otak kanan ini

Apakah cintamu sebesar ombak pantai selatan

Anehnya senyumnya tak pernah pudar sejak ia menegakkan motorku, pandangan kami sekarang masih bertemu tapi tidak melebihi delapan detik. Entah kenapa otakku refleks akibat pandangannya pada tempo 8 detik itu :

Cintaku besar bak ombak yang terpecah di samudra

Tetap semangat dalam mengartikan sandi suci itu

Dirimu takkan jauh dari hatiku

Tapi belum sampai waktu kita bertemu

Bersabarlah dulu Boi

Aku takkan membiarkanmu

Mati dalam keharuman cintaku

Sekian tentang Cerpen Cinta MASIH TANDA TANYA. Semoga bermanfaat buat kita semua. Terima kasih, salam RAJEB GROUPS


Wassalamu'alaikum

Berkomentarlah yang baik ! Anda sopan, Kami segan. Salam Rajeb Group.
EmoticonEmoticon