Monday, October 9, 2017

Cerita Inspiratif dengan Judul Langit

LANGIT

Cerita Inspiratif dengan judul Langit


Kini aku memandang langit yang sesungguhnya, langit biru dan berawan langit yang terukir setengah lingkaran berwarna merah, jingga, kuning, hijau, dan biru. Langit yang menandakan kebahagian, langit yang ceria dan penuh warna. Aku hanya terdiam melihatnya, diam sunyi dan hanya bergumam lirih yang menyatakan bahwa aku ingin menjadi langit itu. Langit yang tidak sendiri, langit yang selalu ceria dan berwarna. langit yang ditemani bintang-bintang dan bulan walaupun petang. Semakin aku memandang semakin jauh mata ini melihat aku ragu, seorang sepertiku yang hanya memiliki satu bintang dalam hidupku tidak mungkin aku bisa menjadi langit itu. Harapanku rapuh, tatkala bintang satu-satunya yang ada dihidupku pergi. Aku menjadi langit yang gelap kelabu tak bewarna, tidak memiliki keindahan untuk dilihat, orang yang melihatku menjadi prihatin. Banyak petir dan badai yang tak sanggup aku jalani, aku hanya bisa berlari dari kegelapan langit itu. Berlari, berlari, berlari sampai kakiku tidak bisa menahanku untuk berdiri. Saat itu aku termenung aku berusaha berjalan walaupun kakiku sudah tidak sanggup lagi, aku berjalan tertatih-tatih. Tiba-tiba aku melihat setitik cahaya kecil tapi sinarnya begitu kuat, seakan aku terbius untuk berlari ke cahaya itu. Aku mencari tahu darimana cahaya itu berasal ternyata itu adalah cahaya yang disebut dengan nama MATAHARI, aku menemui matahari itu. Aku menyadari betapa lemahnya aku jika hanya diam dan takmampu menghadapi masalah dalam hidupku. Walupun aku kehilangan satu bintang tapi aku menemukan matahari, matahari itu sanggup mengubah warna gelap langitku menjadi cerah dan berwarna lagi, yang memberikanku semangat untuk menjadi langit yang indah lagi.
****
Suara ayam berkokok dan ibu-ibu yang sedang melakukan tawar-menawar membangunkanku dari mimpiku. Mimpi bertemu gadis cantik nan wangi tubuhnya bak mawar yang merekah dipagi hari itu sirna ketika seseorang meneriakiku “langit... langitt.. cepat bangun dan lakukan tugasmu”. Suara cempreng yang selalu membiusku untuk segera bergegas bangun dan mengakhiri mimpi ku itu tidak akan pernah terlupakan. “iya nek, langit berangkat” ujarku sambil tergopoh-gopoh mengambil sepeda ontel dan rengkek sahabatku. Di pagi buta seperti ini memang menjadi kebiasaanku untuk membantu orang yang paling aku cintai. Aku mengayuh sepeda kesayanganku dengan kecepatan seperti kura-kura sedang berjalan. Cepat sekali, cepat sekali angin yang berhembus meniupku yang sedang mengayuh sepeda tua nan reot ini sehingga aku membutuhkan waktu lama untuk sampai ke pasar, karena pasar itu terletak 2 kilometer dari gubuk mungil yang aku tempati dengan nenekku. Sesekali kura-kura ini tersandung dan rantainya lepas, aku harus membenarkannya dengan cepat jika lambat bisa-bisa pulang tidak ada makanan di meja makan, karena nenek tua yang menunggu itu pasti akan memarahiku dan berkata “tidak ada makanan langit, karena kamu sudah memakan terlalu banyak waktu bisa-bisa kamu kekenyangan nanti” begitulah ujar wanita tua ini, bagi nenekku waktu adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya karena setiap detik yang telah berlalu tidak akan pernah kembali lagi. Nenek bukan seseorang yang ingin menghabiskan waktunya untuk hal yang sia-sia, beliau begitu pekerja keras walaupun giginya tidak lengkap 10 dan punggungnya sudah mulai melengkung. Nenek memiliki kedai kecil di depan gubuk yang kami gunakan untuk beristirahat dan merajut mimpi, kedai itu didirikan oleh kakek semasa kakek masih menjadi juragan terkaya pada masa itu. Setelah kepergian kakek, nenek mengurus kedai itu dengan penuh kasih sayang seperti yang beliau lakukan kepada kakek, nenek tidak akan membiarkan hal apapun terjadi pada kedai itu karena di kedai kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari masyarakat tersebut terukir sejuta kenangan yang hanya nenek yang tau. Begitu besar rasa cinta nenek ke kakek sehingga nenek tua yang sudah beruban ini sangat melindungi kedai itu. Karena aku yang dilahirkan tanpa memiliki orangtua ini merasakan ketulusan nenek, aku ingin membantu nenek dengan segala kekuatanku seperti yang nenek lakukan kepadaku saat umurku baru tiga jam hingga berkepala 2 ini. Sebenarnya aku ingin memanggil nenek dengan sebutan ibu akan tetapi nenek tidak mau, karena nenek bukanlah ibuku dan nenek tidak mau merebut panggilan ibu kandungku sesungguhnya, nenek hanyalah nenek yang membesarkanku dengan kasih sayang seperti ibu kandungku sendiri. Aku tidak pernah tau apa yang terjadi dengan kedua orangtuaku, kenapa mereka memberikanku kepada nenek saat usiaku baru 3 jam aku tidak pernah tau apa alasannya, akan tetapi begitu bersyukurnya aku sekarang menjadi langit yang cerah bersama bintangku yaitu nenek.
****
Rantai kura-kuraku yang sering lepas ini tidak menghilangkan semangatku untuk berangkat ke pasar membeli sayuran dan keperluan-keperluan lain yang dibutuhkan di kedai nenek, mengingat aku pergi ke pasar karena nenek aku malah jadi lebih semangat. Aku pun meletakkan sayuran dan keperluan-keperluan kedai di rengkek yang ada di sepeda ontel reotku, aku menatanya dengan rapi karena aku adalah langit, aku tidak suka melihat sesuatu yang tidak rapi. Melihat langit sesungguhnya dengan awan-awan yang berjejer rapi mencermikan seperti diriku, langit yang menata rapi sayuran dan keperluan-keperluan kedai didalam rengkeknya. Aku kembali mengayuh kura-kuraku untuk segera kembali ke kedai, ditengah perjalanan aku melihat gadis yang berparas seperti malaikat dengan rambut dikepang menjadi dua dan memakai pita merah di kepalanya menambahkan gadis itu terlihat ayu. Melihat gadis itu sedang kesusahan membawa sayuran ditangannya, aku memberanikan diri untuk menyapanya niatku adalah untuk membantunya, aku tidak tega melihatnya terkekeh-kekeh membawa sayur-sayuran itu. “ bolehkah aku membantumu membawakan itu” ucapku dengan ragu sambil melihat keranjang yang penuh berisikan sayuran itu. Gadis berpita merah itu takut dan dia menolak bantuanku, “aku akan mengantarkan sayuran itu kerumahmu” ujarku lagi seraya meyakinkan. Dengan usahaku untuk meyakinkan gadis berpita merah itu akhirnya ia mau menerima bantuanku, akan tetapi ia tidak mau aku menolongnya sampai di depan rumah, aku hanya bisa mengiyakan permintaan gadis itu karena dia benar-benar gadis yang susah menerima bantuan dari orang lain. Di perjalanan menuju kerumah, gadis itu terdiam tak berkedip tak menoleh dan seakan-akan tak bernafas seperti patung akan tetapi patung yang bisa berjalan, suasana begitu canggung dan aku merasa ia tidak dapat merasakan kecanggunngan itu. Selesai mengantarkan gadis berpita merah itu di radius 50 meter dari rumahnya aku segera menaiki kura-kuraku dan bergegas ke kedai nenek. Saat aku meletakkan kura-kura ku di samping gubuk mungilku aku melihat kedai nenekku yang begitu sepi tak sama seperti biasanya, aku benar-benar bingung dan ingin tahu mengapa kedai nenek tidak banyak pembeli. Aku melihat nenek duduk di kursi bambu depan kedai dengan wajah yang murung sambil meminum seduhan wedang jahe buatannya sendiri. “apa yang sedang terjadi nek? Mengapa kedai tidak seperti biasanaya?” tanyaku kepada nenek “mungkin mereka sudah mempunyai kebutuhan mereka sendiri-sendiri langit, kau tak usah khawatir nanti kalau mereka perlu pasti mereka datang ke kedai” jawab nenek sambil tersenyum menutupi kesedihannya. Aku tidak bisa tenang walaupun nenek sudah menyuruhku untuk tidak khawatir, bagaimana aku tidak khawatir melihat kondisi nenek yang lemah seakan-akan beliau sedang menanggung beban yang begitu berat. Tak kuasa melihat bintangku meredupkan cahayanya aku ingin bergegas menghibur dan menerangkannya lagi agar langitku tak benar-benar gelap gulita, aku mencari asal muasal yang terjadi mengapa kedai nenek yang biasanya dipenuhi pembeli kini kosong, hanya dedauan yang berterbangan saja lewat melalui sela-sela gubuk bambu milik nenek. Aku langit yang masih mempunyai satu bintang tidak akan diam saja membiarkan bintangku redup, aku berkeliling desa menggunakan kura-kuraku ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Di tengah jalan mataku terhenti melihat gadis yang beberapa waktu lalu bertemu denganku, gadis manis nan ayu yang mengenakan pita merah di kepalanya membuatku berhenti mengayuh kura-kura sahabatku. Kini aku melihatnya berjalan sendirian di pinggir sawah, ingin rasa hati untuk menghampirinya tapi begitu aku melihat bola matanya jantungku seraya berhenti berdetak dan sekujur tubuhku kaku tanda terkesima. Aku tidak berani dan segera aku menaiki kura-kuraku untuk melanjutkan mencari tahu yang terjadi di kedai nenek, belum jauh aku mengayuh tiba-tiba gadis berpita merah itu jatuh tergelincir di kubangan lumpur, aku lari untuk menghampirinya mengulurkan tanganku untuk membantunya gadis itu malu tidak mau menatapku. Begitu kasihan kali ini lagi-lagi ia enggan menerima bantuanku, aku tetap memaksa karena aku tidak tega melihatnya dipenuhi lumpur. Dia mau tapi dengan wajah yang tidak bahagia.
“ berhenti, di depan itu rumahku. Terimakasih kau begitu baik kepadaku” ujarnya dengan dingin sambil turun dari kura-kuraku.
“ sama-sama, siapa namaa...” belum selesai aku melanjutkan pertanyaanku aku mendengar suara gaduh ibu-ibu cerewet yang sedang tawar-menawar di samping rumah gadis cantik nan dingin itu. Aku mengintip dibalik gerbang ternyata pelanggan yang biasanya gaduh di kedai milik nenek sekarang pindah di samping rumah pak Abid ayah dari gadis cantik itu.
****
Bintangku semakin redup setelah ia mengetahui sebenarnya yang terjadi. Nenek difitnah bahwa nenek memelihara jin, karena kedai nenek memang kedai terlaku di desa kecil ini. Sungguh, aku tidak percaya siapa biang keladi dari semua ini dengan alasan apa dia berani memfitnah bintangku dengan hal-hal yang tidak masuk akal ini. Memangnya jin sejenis hewan, batinku. Melihat nenek yang punggungya melengkung itu sedih benar-benar mencabik-cabik parasaanku. Nenek tua yang selalu tersenyum untuk melanjutkan bisnis kecil itu serasa tak akan pernah bisa tersenyum lagi, dengan kondisinya yang benar-benar tidak baik ia berusaha menutupi dari cucunya ini.
“sudah langit kau tak perlu bermuram durja seperti yang aku lakukan. Aku bukan bermuram karena kedai kita tetapi memang inilah wajah asliku langit” ujar nenek berbohong kepadaku.
Nenek sering batuk berdahak dan aku pernah melihatnya batuk dengan mengeluarkan darah dari mulutnya, aku ketakutan lalu membawanya ke mantri di seberang desa menaiki kura-kuraku.
“ nenekmu hanya kelelahan ngit, kamu tak perlu khawatir” ujar mantri itu menghilangkan sedikit kecemasanku.
Aku menjaga nenekku dengan penuh rasa cemas karena nenek begitu keras kepala untuk membuka kedai, aku tidak akan membiarkan nenek tua yang sudah tak sanggup berdiri itu tetap menjalankan aktivitasnya.
“ langit berjanji mengembalikan pelanggan yang biasanya datang kewarung nenek, langit akan menjaga kedai kakek! Asal nenek harus berjanji untuk sembuh kepada langit” ujarku sambil menitikkan air mata, nenek terdiam dan hanya mengucapkan “nenek berjanji langit..” dengan suara lemas.
Setelah merawat nenek aku bergegas ke pasar membeli keperluan kedai yang kurang, setelah aku kembali dari pasar aku membuka kedai kecil milik nenek yang sudah usang dan berdebu kubersihkan dan ku tata rapi seperti kedai yang baru diresmikan. Tiba-tiba aku melihat gadis berpita merah yang berlali menuju arahku, sebenarnya aku tak yakin apakah ia ingin belanja kekedai ku ia tampak panik dan ketakutan.
“kali ini aku membutuhkan bantuanmu, apakah kamu masih mau menolongku?” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Langit sepertiku tidak suka dengan keadaan yang mendung, melihat mata gadis itu seakan akan langitku akan meneteskan air hujan yang begitu deras. Kusuruh ia masuk ke gubuk tua kami, walaupun sudah berulang kali kutanya ia hanya terdiam dengan meneteskan air matanya terus menerus, aku tak tega melihatanya seperti itu.
“ ayah yang jahat! Aku tidak pernah menginginkan ayah sepertimu” sambil terisak ia berkata itu berulang-ulang kali, aku hanya terdiam aku membiarkannya meluapkan amarah yang ia pendam sendirian. Karena ia gadis yang pendiam dan setau ku ia tak memiliki ibu juga, mungkin tidak ada yang mampu menjadi pendengar baiknya sehingga ia kesal, aku mencoba membantunya selagi aku bisa.
“ maafkan aku, ayahku lah dalang dari semua masalah yang kau hadapi sekarang” kata gadis yang begitu banyak mengeluarkan air mata itu.
“ apa? Apa yang terjadi? tolong jelaskan, kumohon” ujarku bingung dan benar-benar tak menyangka.
Gadis berpita merah itu menjelaskan yang baru saja terjadi, ia mendengar ayahnya berbicara dengan penjaga kedai milik ayah gadis itu yang berisi tentang ayahnya lah yang menyuruh untuk menyebarkan fitnah tak masuk akal kepada nenek langit. Mendengar cerita itu langit terbakar oleh amarahnya, dengan spontan ia berteriak kepada gadis itu
“ keluar kau!!! Jangan pernah kau menunjukkan wajahmu di depanku lagi” menunjuk kearah gadis ayu yang sedang menagis itu.
Gadis berpita merah benar-benar ketakutan ia tak menyangka hal itu dilakukan oleh pria yang selalu menolongnya. Langit sebenarnya tidak tega tapi ketika ia berkata kalau pelakunya adalah ayah gadis itu, ia tak bisa membendung amarahnya sendiri “ maafkan aku” ujarku melihat gadis yang berjalan keluar dari gubukku. Kini aku sudah tau siapa dalang dari semua ini, siapa orang yang tak punya hati kepada orang tua yang menanggung beban hidup cucunya yang nakal ini, aku hanya termenung diam tak melakukan apa-apa selain memberikan nenek makan dan merawatnya dengan kesungguhan hati. Kondisi nenek semakin tak membaik kini sudah banyak darah yang ia keluarkan dari mulutnya tapi mantri hanya berkata “nenek mu hanya lelah langit, ia hanya perlu beristirahat” hanya kalimat itu yang ia katakan berulang kali saat aku memeriksakan nenek. Aku benar-benar tak menyangka seorang mantri yang terkenal paling pandai di desaku ia tak bisa melakukan hal lebih kepada nenek, kini aku benar-benar merasa tak sanggup berbuat apa-apa lagi ke nenek.
Gadis berpita merah yang sampai saat ini belum ku ketahui namanya tak pernah muncul sekalipun di depanku, aku merasa benar-benar bersalah kepadanya. Ia gadis baik yang tidak suka akan perbuatan ayahnya akan tetapi ia kena imbas dari ayahnya sendiri. Gadis berpita merah itu sering sekali menyendiri aku rasa ia memiliki begitu banyak beban dalam hidupnya yang tak pernah diceritakan kepada orang lain. Karena sudah selesai tugasku untuk merawat nenek, sekarang nenek sedang merajut mimpi dan berusaha untuk sembuh di atas tikar. Begitu penat melihat oarang-orang yang aku kenal mengalami masalah aku menyejukakan fikiranku dan datang di tempat saat aku menolong gadis berpita merah yang terjatuh di kubangan lumpur. Aku menyendiri dan melihat langit sesungguhnya seperti yang dilakukan gadis pita merah itu sebelumnya, aku melihat langit yang mendung seperti diriku saat ini. “indah bukan langit itu, lebih indah lagi kalau langit itu tidak berwarna kelabu seperti sekarang” suara gadis terdengar di belakangku. Ternyata gadis pita merah itu juga datang di tempat dia sedang terjatuh dulu, jantungku masih berdebar-debar ketika melihatnya, apalagi ia beranjak duduk di sampingku. Aku mematung.
****
“nenek cepat sembuh ya, nenek harus tetap bertahan mempertahankan milik nenek dengan cucumu nek. Maafkan ayahku yang sudah membuat nenek seperti ini” gadis pita merah itu menggengam tangan nenekku dengan meneteskan air mata, ia merasa bersalah melihat kondisi nenek yang sudah benar-benar tak berdaya itu. Gadis itu menangis dan berdo’a menangis lagi dan berdo’a lagi, hanya itu yang dapat ia lakukan terhadap nenek sedangkan aku hanya berada di dalam kedai sambil duduk memegangi kedua lututku. Langit yang dulu cerah karena memiliki satu bintang dihidupnya kini benar-benar gelap karena bintang itu perlahan-lahan meredupkan cahayanya, langit tidak sanggup melihat neneknya yang sekarat itu.Gadis yang sudah berusaha menyuruh ayahnya untuk meminta maaf dan mengembalikan situasi kesemula yang alhasil tak pernah digubris sekalipun oleh ayahnya itu benar-benar menyesal, ia tak pernah kembali kerumah, ia selalu menemani nenek dan langit di gubuk kecil nenek. Ketika tangis benar-benar memenuhi sela-sela dinding itu, nenek membuka matanya “langiit...” kata pertama yang diucapkan nenek itu menghentikan suara tangis gadis dan langit yang sedang disampingnya. “ nenek tak perlu apapun di dunia ini, nenek hanya meminta sedikit waktu ini kepada tuhan yang mau menjemputku. Langit harus menjadi langit yang cerah, langit yang memiliki warna-warni di bagiannya, langit yang selalu di temani bintang-bintang, langit yang tak pernah lelah seperti nenek ini. Kau harus berjanji kepada nenek tentang itu, nenek disana akan memantamu, melihatmu dari langit ke tujuh jika aku melihat langit cucu nenek sedang bersedih dan tidak berwarna maka nenek tak kau anggap sebagai nenekmu lagi.” Perkataan lirih terakhir nenek sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. “neneeeeeeeeekkkkkkkkkkkkkkkkk !!!!!!!!!!!!!!” teriak langit sambil menagis memegang tangan neneknya, teriakannya begitu menggetarkan bumi ini, terikan seorang anak yang sudah tak memiliki cahaya lagi dihidupnya. Beberapa hari setelah kepergian neneknya, langit hanya terdiam ia tak mau makan, tak mau berbicara, tak mau tidur yang ia lakukan hanya memeluki baju-baju yang pernah neneknya pakai. Langit benar-benar redup sekarang, kedainya sudah ditinggali oleh keluarga laba-laba dan debu sudah menumpuk setebal 5 centimeter. Melihat kondisi itu gadis yang sudah mulai menyukai langit tak tega, ia benar-benar ingin melihat langit tersenyum lagi, melihat langit manawarkan bantuan lagi kepadanya tapi apa boleh buat gadis pita merah ini tak sanggup menggembalikan senyum langit lagi. Akan tetapi gadis itu tidak hanya mencoba 1 kali ia berulang-ulang kali menyemangati langit dan membantu langit agar ia dapat cerah lagi seperti sediakala. “ aku tidak akan pulang! Aku akan tetap disini menebus semua dosa mu!” teriak gadis itu kepada ayahnya yang menyuruhnya pulang. Semua warga berkumpul mendengar teriakan gadis cantik yang berkata kasar itu kepada ayahnya,
“apa kau kurang bahagia? Apa kau tak punya hati? Apa kau tak sayang kepada anakamu ini? Kenapa kau begitu tega memfitnah nenek langit dengana hal-hal yang tak masuk akal?” begitu banyak pertanyaan yang ia ungkapkan kepada ayahnya, warga setempat tak menyangka gadis yang pendiam itu ternyata memiliki keberanian mengungkanpkan semuanya di depan orang banyak.
“apa maksudnya ini? Apa yang sedang terjadi sekarang?” seorang warga bertanya hal apa yang sedang terjadi antara anak dan ayah ini.
“apa kalian tidak menyadari? Kalian sedang ditipu oleh laki-laki itu, ia menyebarkan fitnah yang tak masuk akal terhadap kedai milik nenek langit, sekarang nenek langit tak ada lagi! Aku sebagai anaknya malu, kenapa ayahku tak pernah sadar dan ia tak meminta maaf kepada nenek langit sampai detik ini” ucap gadis itu sambil berlinang air mata.
Aku yang tetap duduk dan diam sambil mendengarkan apa yang sedang terjadi diluar sana hanya bisa meneteskan air mata saja, aku tak ingin membela siapapun kini yang ada difikiranku hanya nenek.
“ apa benar yang kamu ucapkan? Berarti pak Abid tukang tipu?” masyarakat marah dan meraka tak akan datang lagi ke kedai milik gadis itu. Pak Abid yang dipenuhi dengan penyesalan tetap diam tak mau mengakui kesalahannya, pak Abid memang orang yang begitu keras kepala sama seperti anaknya akan tetapi anaknya masih memiliki hati.
****
Langit yang begitu kelabu tak mengingat apa yang telah diucapkan neneknya sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia hanya benar-benar terpuruk.
“langit sampai kapan kau akan terus seperti ini? Apa kau tak mengingat apa yang dikatakan nenekmu sebelumnya? Nenekmu berkata kalu ia sedang memantaumu sekarang! Apa kau tak ingat juga nenekmu berkata kalau beliau melihatmu tak berwarna beliau tak mau kau jadikan nenekmu! Apa kau tak ingat langit?” langit hanya diam dan menitikkan air mata mendengar perkataan gadis itu, sebenarnya ia mengingat dengan baik apa yang dikatakan neneknya itu tapi entah angin dari mana lewat yang menjadikan langit tak ingin bangkit lagi untuk memenuhi janji kepada neneknya itu.
“apa kau tak tau dalam hidpku aku hanya memiliki satu cahaya, kau tau darimana cahaya itukan? Itu dari bintangku yaitu nenek, aku tak pernah merasakan kasih sayang ayah ataupun ibu! Tapi aku tetap cerah karena bintangku setia memberikan aku cahaya, sekarang cahaya itu hilang apa kau tau? Aku tak bisa berjalan dalam kegelapan aku tak bisa berbuat apa-apa lagi” langit mengucapkan kalimat yang penuh makna sambil menagis terisak-isak.
“lantas, apakah kalau kau diam seperti ini kegelapanmu akan berubah? Apakah kau ingin jadi pengecut seperti ayahku? Apa kau benar-benar tak ingin memenuhi janjimu kepada nenek? Sebenarnya kau mampu berjalan di kegelapan itu tapi kau harus berusaha melawan ketakutanmu itu langit!” ujar gadis pendiam yang menusuk perasaan langit.
“ apa kau tahu siapa namaku langit?” pertanyaan gadis itu kepada langit, memang benar selama ia bertemu dengan langit, langit tak pernah bertanya siapa nama gadis yang ia sebut gadis berpita merah ini. Langit menatapnya dan menggelengkan kepala, “ namaku adalah Matahari” langit semakin terpana melihat gadis cantik bernama matahari di depannya.
“apa kau tak mau bertemu matahari? Kau tau cahaya matahari lebih besar dari pada cahaya bintang, cobalah berjalan melawan rasa takutmu itu. Coba temukan sianar mataharimu sekarang langit!” sekarang langit beranjak menuju kedai ke arah matahari itu dari tempat yang selama ia ditingkalkan neneknya ia hanya duduk sambil memegangi lututnya tak berdaya.
“langit, tahukah kau siapa orang pertama kali yang mendengarkan ceritaku? Itu kau langit. Aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu denganmu, tak bisakah aku menjadi mataharimu?”
****

Semangat itu muncul lagi ketika aku mendengar kata MATAHARI, aku tak menyangka selama ini gadis yang aku sukai menyukaiku juga. Kini aku menjadi langit yang cerah lagi berkat matahariku, aku sekarang menjalani hidup dengan orang yang mampu mebuataku menepati janjiku kepada nenekku yang paling kucintai. Aku membangun kedai kecil milik kakek yang diberikan kepada nenek dan sekarang milikku ini, aku berhasil menggembalikan pelanggan yang dulu sering datang ke kedai nenekku lagi dengan bantuan matahari. Pak Abid yang penuh dengan penyesalan ia memberanikan diri meminta maaf kepada masyarakat dan kepadaku, ia menyadari apa yang ia lakukan salah. Pak Abid tak ingin dibenci putri satu-satunya yang ia sayangi yaitu matahari. Kini bintangku diatas sana melihatku sedang bersama matahari, aku tahu kalau nenek bahagia dan tersenyum di langit ke tujuh.

Karya : Anissah Balqis Anggraini 

Berkomentarlah yang baik ! Anda sopan, Kami segan. Salam Rajeb Group.
EmoticonEmoticon